Thursday, December 11, 2008

Kekuatan Diam

Berbicara adalah perak, diam adalah emas.

Salah satu ironi kehidupan yang menarik adalah bahwa diam, yang sering kali dihubungkan dengan kepasifan, mempunyai kekuatan yang besar. Diam membantu kita untuk lebih berkonsentrasi, tenang, introspektif, dan bahkan lebih bijak. Dan, diam seringkali lebih dapat menyampaikan poin-poin kita dengan lebih efektif dari pada argumen-argumen.

Pertama, pikirkanlah betapa diam sangat penting untuk pembelajaran. Ketika kita berbicara, sangatlah sulit untuk belajar lebih dari apa yang sudah kita ketahui. Namun, ketika kita dengan tenang mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain, dunia baru sudah disiapkan untuk kita. Kita bisa memulai sesuatu dari perspektif orang lain, dan kita bisa memiliki akses terhadap apa yang mereka ketahui. Ketika kita mendengarkan masalah-masalah dan pendapat-pendapat orang lain, untuk sesaat kita terbebas dari kekhawatiran mengenai masalah kita sendiri dan kita dapat belajar sedikit seperti apa rasanya berada dalam keadaan orang lain. Mendengarkan dengan diam adalah kunci untuk merasakan hidup dengan lebih penuh, informatif, dan empati.

Meskipun pada awalnya diam nampak tidak nyama bagi mereka yang terbiasa keramaian, dan lebih khusus bagi orang-orang yang ekstrovert, sebenarnya diam menawarkan anugerah bagi meraka yang belajar bagaimana untuk menerapkan diam secara baik. Bahkan ketika kita menghadapi konflik yang di dalamnya kita memutuskan bahwa kita harus mengambil sikap, diam bisa menjadi teman yang kuat untuk membantu kita meraih tujuan-tujuan kita.

Diam juga memberikan sesuatu yang berharga – diam memberikan kesempatan kepada kita untuk mendengarkan diri kita sendiri. Kita bisa mendengarkan diri kita sendiri dengan cara yang baru dan lebih efektif, untuk mendengarkan apa yang suara batin kita ajarkan pada kita. Penulis Parker Palmer menggambarkan hal itu dengan kata-kata sebagai berikut:

“kita mendengarkan petunjuk dimana saja kecuali di dalam batin. Kita percaya, bahwa hanya karena kita telah mengatakan sesuatu, maka kita memahami maknanya. Tetapi sering kali tidak. Kita perlu mendengar apa yang sedang dikatakan oleh hidup kita dan mencatatnya, agar kita tidak lupa kebenaran kita sendiri.”

Gagasan ini menunjukan sebuah jenis diam yang lain. Jenis ini adalah sikap dengan sengaja mendiamkan pikiran kita yang biasanya bercakap-cakap saat kita bicara dan mencari pelajaran yang lebih mendalam tentang apa yang kita bicarakan. Atau, sikap memilih merenung dalam diam untuk berkonsentrasi pada apa yang harus dikatakan oleh pikiran kita dalam diam.

***

Memilih untuk diam dapat mengantarkan kekuatan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita. Diam bisa menjadi alat utama untuk menikmati komunikasi yang lebih efektif, pembelajaran yang lebih baik, pertumbuhan personal yang lebih berarti, kedamaian, hubungan yang lebih efektif, dan memperkaya perasaan tentang kehidupan dan kerja kita.

Thursday, November 20, 2008

Cherish Every Moment


Taken from 'Cherish Every Moment' by Arvant Pradiansyah

Banyak orang bertanya, “Bagaimanakah cara menikmati hidup yang penuh dengan keindahan?”. Pertanyaan ini sangat menarik dan jawabannya dapat diuraikan panjang lebar. Namun di zaman yang serba instant ini kebanyakan orang tak memiliki cukup waktu untuk mendengarkan. Kita membutuhkan sesuatu yang lebih praktis. Lantas, bisakah kita merumuskan cara menikmati hidup hanya dengan satu kata, atau – paling banyak – satu kalimat?

Tentu saja bisa. Kebahagiaan akan bisa kita dapatkan dengan satu kata kunci: Cherish Every Moment. Kita bisa menikmati hidup kalau kita menghargai setiap momen dalam hidup kita. Setiap momen itu indah. Setiap momen adalah anugrah Tuhan yang tak ternilai harganya. Menghargai setiap momen adalah menikmati setiap tarikan dan helaan napas. Menghargai setiap momen adalah menyatukan badan, pikiran dan jiwa dalam tarian alam semesta.

Menghargai setiap momen nampaknya begitu sederhana. Namun menjalankan hal itu di masa sekarang ini luar biasa sulitnya. Kita sering kali merasa dikejar-kejar waktu. Jumlah pekerjaan yang harus kita selesaikan tidaklah seimbang dengan jumlah waktu yang tersedia. Karena itu kita menyesuaikan diri dengan cara mempercepat tempo kerja kita. Kalau perlu kita melakukan dua atau tiga pekerjaan sekaligus. Bahkan ketika kita sedang melakukan sebuah kegiatan, pikiran kita sudah diisi dengan berbagai kegiatan berikutnya. Motto kita adalah “Faster is Better”.

Cara hidup seperti ini sering membuat kita gagal menikmati sisi-sisi terindah yang disediakan oleh hidup. Kita menjadi mahluk mekanis yang sibuk dengan bergbagai kegiatan. Kita jadi tidak pernah sepenuhnya berada dalam satu momen. Ini membuat kita kehilangan kegembiraan, antusiasme dan spontanitas. Inilah yang disebut ‘hidup yang tidak hidup’.

Seorang spiritualis, John O’Donohue dalam “Spriritual Wisdom from The Celtic World” (1997) mengatakan bahwa untuk bisa menikmati setiap momen yang harus kita lakukan bukanlah meningkatkan kontrol kita terhadap kehidupan. Kita justru perlu mengendurkan diri kita dan melihat keistimewaan pada hal-hal yang biasa.

Menikmati setiap momen akan melahirkan gairah. Robert M. Prisig dalam bukunya Zen and The Art of Motorcycle Maintenance (1974), mengungkapkan bahwa proses memiliki gairah terjadi ketika seseorang berdiam diri cukup lama untuk melihat, mendengar, dan merasakan alam semesta, bukan hanya mengetahui pendapat orang lain mengenai alam semesta itu. Karena itu “Cherish Every Moment” bukanlah teori tetapi sesuatu yang harus kita dialami sendiri. Kita harus bisa menemukan keindahan dari setiap detail kegiatan yang sedang kita lakukan saat ini. Ini berarti kita harus benar-benar masuk ke dalam kegiatan apapun yang sedang kita lakukan, tanpa pikiran untuk mendapatkan sesuatu. Kita perlu melakukan sesuatu karena sesuatu itu sendiri.

Dalam Zen, ini dikenal dengan zazen. Posisi duduk zazen menghasilkan stabilitas dan menempatkan kita kedalam suatu keadaan pikiran yang membebaskan. Bagian utama dari praktik ini adalah bernapas. Untuk memperlembut pikiran, kita hanya perlu duduk, diam dan bernapas.

Tiga Pertanyaan Tolstoy
Leo Tolstoy, seorang pangarang asal Rusia, pernah menulis sebuah cerita mengenai seorang raja yang berusaha menemukan jawaban atas tiga pertanyaan berikut:

Kapankah waktu terbaik untuk melakukan setiap hal?
Siapa orang yang paling penting untuk diajak bekerja sama?
Apa yang paling penting untuk dilakukan?

Pertanyaan ini mungkin sama dengan pertanyaan yang diajukan oleh seseorang yang sibuk dan berjuang untuk meraih berbagai hal. Tetapi jawaban yang diberikan oleh kisah ini tidak persis seperti apa yang diingkan oleh orang:

Waktu yang terbaik adalah sekarang.
Orang yang paling penting adalah orang yang saat ini sedang bersama dengan kita.
Hal yang paling penting untuk dilakukan adalah membuat orang yang paling dekat dengan kita bahagia.

Jadi yang terpenting adalah sekarang. Hidup kita adalah sekarang. Dan kualitas hidup kita sangat ditentukan oleh apa yang dilakukan sekarang. Masa lalu adalah sejarah, masa depan belum tentu dapat kita jumpai. Karena itu satu-satunya yang nyata adalah masa kini. Namun betapa banyaknya orang berada di masa lalu atau bahkan sudah melompat ke masa depan. Orang-orang yang seperti ini akan nampak dari raut wajahnya ketika sedang berkomunikasi dengan kita. Betapa seringnya dalam pergaulan sehari-hari kita menemukan orang yang tidak berada bersama-sama kita padahal ia sedang bercakap-cakap dengan kita.

Orang-orang seperti ini biasanya gagal memberikan kontribusi yang terbaik kepada sesama manusia. Thich Nhat Hanh, seorang spiritualis dari Vietnam mengatakan bahwa kita tidak perlu berpikir untuk memberikan bantuan yang besar bagi kemanusiaan, melainkan cukup berpikir bagaimana sekarang kita bisa membantu, dimana pun kita berada. Karena jika kita tidak bisa membantu mereka yang ada di sekitar kita dan membuat mereka merasa bahagia, kita tidak bisa membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.

Bagaimana Cara Menikmati Setiap Momen?
Lebih jauh, dalam bukunya “The Miracle of Mindfulness” (1975), Thich Nhat Hanh menyebutkan tiga cara yang perlu kita lakukan agar bisa menikmati setiap momen. Pertama adalah bernapas. Mampu menguasai napas berarti bisa mengendalikan tubuh dan pikiran kita. Ketika kepala kita penuh dengan pikiran, beralihlah ke tubuh kita dan bernapaslah dengan sadar. Ini akan membuat tubuh kita menyatu dengan pikiran. Rasakan napas terasa hingga semakin dalam.

Sebenarnya yang paling dibutuhkan agar kita tetap hidup bukanlah makanan dan minuman, tetapi bernapas. Ini sangat mendasar. Orang yang tahu bagaimana cara bernapas dengan benar akan tetap tenang dalam setiap situasi, serta memiliki kunci untuk terus merevitalisasi tubuh kita.

Kedua, mengamati diri. Kita harus bersikap seperti pengawal istana yang tidak membiarkan setiap pikiran masuk tanpa kita ketahui pasti siapa atau apa mereka. Untuk itu kita perlu mengamati setiap pikiran yang muncul. Jika kita merasa marah, misalnya, maka katakan pada diri sendiri: “suatu perasaan marah baru saja timbul dalam diriku”.

Kita juga perlu menyadari apapun yang sedang kita lakukan. Apapun yang sedang kita lakukan, itu harus menjadi hal yang paling penting bagi kita. Jangan buru-buru untuk menyelesaikannya.

Ketiga, tersenyum. Menurut Nhat Hanh, cara menarik untuk mempertahankan sikap sadar adalah dengan tersenyum di saat kita bangun tidur, dan mempertahankan senyum itu sepanjang hari. Tersenyumlah dalam kondisi apapun, disaat luang kita, ketika kita merasa tersinggung, ketika kita mendengarkan musik. Tersenyum tipis membuat kita tidak larut dalam emosi. Senyum itu justru meningkatkan kita tentang momen yang sedang kita rasakan.

Monday, November 10, 2008

Comment on: Why IT Doesn’t Matter Anymore

z Based on, Why IT Doesn't Matter Anymore

By Nicholas G. Carr

06.11.2003, Harvard Business School, special to SearchCIO.com

IT masih tetap memegang peranan penting dalam menciptakan competitive advantage bagi perusahaan. Tetapi pada dasarnya, IT hanya akan tetap menjadi sebuah ‘tools’ yang tidak banyak memberikan impact pada business practices apabila tidak didukung dengan adanya relationship yang seimbang antara technology, business process, dan people sebagai penggerak inti dari IT itu sendiri. Mempergunakan teknologi informasi seoptimum mungkin berarti harus merubah mindset. Merubah mindset merupakan hal yang teramat sulit untuk dilakukan, karena pada dasarnya “people do not like to change”.

Kapan IT Matter? Dan kapan Doesn’t Matter?

Hal pertama yang perlu diperhatikan ketika perusahaan bermaksud menginvestasikan dananya untuk peralatan IT adalah menjawab pertanyaan, apakah IT nantinya akan berperan sebagai ‘darah’ yang harus ada dan menghidupi perusahaan, atau hanya sebagai pelengkap yang mempercantik ‘wajah’ perusahaan, dengan kata lain, tidak ada IT-pun perusahaan dapat tetap beroperasi dengan baik. Untuk menjawab pertanyaan ini dengan baik, tentunya manajemen harus terlebih dahulu memahami dengan benar karakter bisnisnya, lingkungan usaha, dan sasaran pengembangan perusahaan ke depan.

Ketika IT sudah menjadi ‘darah’ dari aktivitas perusahaan, cukup sulit untuk memisahkannya dalam komponen biaya sebagai driver cost sehingga dapat diketahui dengan pasti seberapa besar kontribusinya bagi kinerja perusahaan. Selain itu kelaziman yang masih dianut, sejak rencana investasi tidak ada parameter yang diciptakan dan disepakati bersama oleh manajemen untuk mengetahui berhasil – tidaknya investasi IT, jika berhasil berapa besar, demikian pula jika gagal, berapa banyak. Ketiadaan parameter ukur inilah yang menyebabkan seolah – olah pemanfaatan IT tidak pernah optimal. Apalagi didukung oleh usia hidup (life cycle) peralatan IT yang cenderung makin singkat, sehingga ketika suatu investasi IT belum diangap kembali, namun harus membuat investasi baru lagi (untuk mengejar ketertinggalan) makin kuat saja anggapan manajemen bahwa investasi sebelumnya tidak optimal.

Perusahaan perlu memanfaatkan TI ketika: [1] sebagian besar proses operasionalnya (produksi, pemasaran, keuangan, dll) sudah bersifat repetitif; [2] kinerja perusahaan tidak dapat ditingkatkan lagi outputnya dengan penambahan input manusia; [3] marginal cost cenderung meningkat sementara marginal revenue tetap/flat

Keunggulan IT (yang berbasis komputer) sangat dirasakan ketika digunakan untuk mengerjaan tugas - tugas besar yang rutin dan berulang (repetitive). Dalam konteks ini IT mengisi kelemahan manusia khususnya pada keakurasian perhitungan, kecepatan proses, dan daya tahan (endurance). Pada proses manufaktur massal misalnya, penggunaan mesin untuk otomatisasi produksi sangat dirasa manfaatnya dalam menggantikan tenaga manusia yang lamban, serta seringkali terpengaruh oleh kondisi emosional. Sebaliknya, dengan IT, manusia cukup berperan sebagai pengendali saja.

Pada kondisi di mana ketika input tenaga kerja dinaikkan namun outputnya tidak meningkat proporsional dengan inputnya, maka dalam kondisi demikian pemanfaatan IT sangat relevan. Sebagai contoh, untuk proses sistem penagihan layanan telepon atau listrik. Jika sistemnya dilakukan secara manual, penambahan tenaga kerja tidak akan sebanding dan tetap tidak dapat melayani jumlah pelanggan yang sedemikian banyaknya. Dalam kondisi semacam ini pemanfaatan IT menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan.

Persaingan pasar dengan segala konsekuensinya seringkali menjadi pendorong utama untuk investasi IT. Dari analisis ekonomi, hal ini sebenarnya untuk mengantisipasi berhentinya laju pendapatan sementara penambahan biaya dari masa ke masa tidak dapat dielakkan. Jika hal ini dibiarkan maka perusahaan akan tutup, karena menanggung rugi. Dalam konteks ini, IT digunakan untuk menopang atau menjamin adanya kestabilan arus pendapatan sehingga dapat menutup semua biaya perusahaan. Atau dalam bahsa teknisnya, IT akan menjaga agar dari masa ke masa marginal revenue selalu lebih besar dari marginal cost. Sayangnya, pemahaman seperti ini belum banyak dimiliki oleh perusahaan, atau tidak menjadi pertimbangan utama ketika melakukan investasi IT.

Tidak semua perusahaan merasa perlu untuk melakukan perubahan mendasar atau menambah investasi IT. Hal ini bisa dipahami karena banyak perusahaan yang sukses operasinya tidak mengandalkan pada pemanfaatan secara optimal IT. Sebaliknya sektor usaha yang faktor kunci sukses-nya ditentukan sebagian besar oleh IT merasa perlu untuk selalu meninjau ulang strategi IT-nya sebagai bagian strategi perusahaan secara keseluruhan. Sebagai contoh, pada saat ini industri jasa keuangan: perbankan, asuransi, sekuritas; industri jasa penerbangan adalah dua contoh industri yang sangat tergantung pada IT. Kita bisa bayangkan bagaimana bank BCA, BRI, BNI, Mandiri, dan bank – bank lain yang sudah punya layanan ATM di seluruh Indonesia bisa beroperasi dengan baik kalau infrastruktur sistem informasi-nya tergangu untuk waktu yang cukup lama, atau dapat pula dikatakan bahwa bagi industri perbankan, keberadaan IT sudah merupakan darah bagi kehidupannya.

Sebaliknya, kita juga harus melihat kenyataan bahwa sekalipun sudah besar dan berskala nasional, namun karena karakter bisnis maupun sifat produknya yang tidak banyak memerlukan keterlibatan IT, maka kelompok usaha semacam ini belum merasa perlu untuk berpikir ulang terhadap strategi pemanfaatan IT sebagai bagian dari strategi perusahaan. Perusahaan manufaktur padat karya semacam pabrik rokok, tekstil, dan properti merupakan contoh industri yang kurang kritis dalam memutuskan perlu tidaknya menetapkan strategi pemanfaatan IT. Bagi perusahaan kelompok ini, IT masih sering dianggap sebagai pelengkap (accessories) belum menjadi darah sebagai mana kelompok pertama di atas.

Di antara dua kelompok di atas, ada satu kelompok lagi yang mulai mengarah kepada pemanfaatan IT secara intensif, tidak saja digunakan untuk membantu sistem informasi manajemen, namun juga pada upaya efisiensi produksi dan operasional perusahaan. Pemanfaatan ERP dan aplikasi – aplikasi Real Time Production Information Systems yang digunakan untuk dan mengendalikan peralatan produksi di banyak perusahaan manufaktur menunjukkan adanya itikad meningkatkan efisiensi produksi.

paper zone © 2008 | Coded by Randomness | Illustration by Wai | Design by betterinpink!