Sunday, January 18, 2009

Going Global; Lessons from Late Movers

Perusahaan yang berasal dari negara berkembang merasa diri mereka tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk bisa bersaing dengan perusahaan besar dari Amerika, Eropa, dan Jepang. Inferior mindset ini tumbuh karena mereka beranggapan bahwa modal yang paling penting untuk memenangkan persaingan adalah uang dan teknologi, sehingga mereka tidak mempunyai harapan untuk bisa memenangkan persaingan dengan perusahaan-perusahaan besar yang sudah mengusai pasar dunia. Karena hal tersebut jugalah yang menyebabkan banyak perusahaan terlambat memasuki pasar global. Namun masih ada beberapa perusahaan yang tetap optimis untuk memasuki pasar global dan akhirnya bisa bersaing dengan sukses meskipun negara asal perusahaan tersebut jauh dari pusat ekonomi global.

A Model of Success

Salah satu perusahaan yang sukses bersaing di pasar global adalah Ranbaxy, perusahaan farmasi asal India. Setelah memutuskan untuk memasuki pasar ekspor pada 1975, Ranbaxy terjebak pada value curve bisnis farmasi. Baru setelah tahun 1993, Ranbaxy merubah pendekatan internasionalisasinya secara mendasar. Parvinder Singh, chairman dan CEO Ranbaxy, menantang top manajemen untuk mengubah Ranbaxy menjadi ‘an international, research-based pharmaceutical company’. Sekali perusahaan merubah mind set, maka strategi yang terbentuk akan selalu mengarah pada kemajuan masa depan. Ranbaxy berubah menjadi bisnis dengan margin yang tinggi untuk menjual obat generik bermerek di pasar Rusia dan China. Perubahan ini menuntut dibangunnya hubungan dengan pelanggan yang baru, brand image yang kuat, dan channel distribusi yang berbeda. Kemudian Ranbaxy memasuki pasar Amerika dan Eropa , dimana perusahaan dihadapkan pada peraturan yang lebih keras. Tetapi dengan bertambahnya pengetahuan dalam memasuki pasar internasional dan pengalaman dalam mengembangkan sumber daya dan kemampuannya, Ranbaxy kini menjadi bisnis internasional yang menguntungkan. Kesuksesan ini sebagian berasal dari upaya secara konsisten untuk terus menginvestasikan 4-6% dari hasil penjualannya di R&D, sehingga akhirnya mereka memiliki laboratium kelas dunia yang memperkerjakan 250 scientists. Tantangan terbesar yang mereka hadapi adalah mengubah mind set yang beranggapan bahwa mereka tidak mampu bersaing di pasar global. Begitu mereka terbebas dari anggapan itu, mereka akan menemukan strategi bagaimana menjadi late mover yang mempunyai competitive advantage.

Breaking Out of the Marginal Mind-Set

Perusahaan dari negara berkembang bisa jatuh ke dalam beberapa perangkap, yang kita sebut liabilities of origin. Pertama, mereka merasa terkurung dengan standard lokal karena syarat teknikal dan desain norma yang berlaku di negara mereka berbeda dengan standard yang berlaku secara world class di luar. Yang kedua, meskipun produk dan service mereka menarik, namun karena letak mereka yang terpinggirkan, manajemen merasa tidak bisa menerima protensi perusahaannya untuk memasuki pasar global atau semakin merasa lemah karena keraguan mereka sendiri.

Push from home. Ada dua cara bagi perusahaan untuk push from home; pertama, momen tepat yang menstimulasi untuk memulai langkah pertama yang mengarah pada internasionalisasi. Ini secara khusus untuk kasus perusahaan yang dibutakan oleh kesuksesan pasar domestik dan gagal melihat bahwa negara asal mereka saat ini masih kekurangan. Hal ini serupa dengan yang dialami oleh Samsung, perusahaan elektronik asal Korea Selatan. Masalahnya adalah, sebagian besar manager Samsung tidak menerima anggapan negative konsumen dari luar karena produk Samsung diterima baik oleh pasar domestik mereka. Dan yang diperlukan oleh Samsung adalah melakukan serangkaian kegiatan yang pada akhirnya mengarah ke perubahan besar pada konsumen Samsung di pasar global. Langkah kedua untuk push from home adalah berani membuat lompatan atau perubahan. Lompatan ini bisa menjadi dramatis dan itu selalu beresiko. Seperti yang dilakukan oleh Termax, perusahaan dandang asal India. Termax membuat perubahan desain secara radikal untuk dandang mereka, yaitu dengan mengurangi sepertiga ukurannya. Produk ini sukses di pasar domestik namun tidak laku di jual di pasar luar negeri. Untuk sukses secara global, tidak hanya harus memenuhi standard teknikal internasional tertinggi, tetapi juga harus mengembangkan konsep desaing yang berbeda secara mendasar.

Pull from abroad. Yaitu dengan membangun management yang menjadi bagian dari internasionalisasi perusahaan. Natura, perusahaan kosmetik dengan sistem direct-selling asal Brazil. Meskipun Natura bisa mempertahankan pasar domestiknya dalam melawan perusahaan seperti Revlon, Estee Lauder, P&G, dan Shiseido, tetapi gagal dalam meningkatkan pengembangan produk dan kekuatan pemasarannya di luar – bahkan untuk negara-negara yang dekatnya seperti Argentina, Chile, dan Peru. Kesuksesan pasar domestik yang di raih Natura menyebabkan mereka enggan bersusah payah untuk berusaha meraih lebih luas pasar global mereka. Hal ini karena management mereka di luar tidak didukung dengan tenaga yang baik dan mereka terburu-buru merekrut tenaga dari luar yang akhirnya gagal satu per satu. Mereka tidak mempunyai kredibilitas yang diperlukan untuk menarik perhatian top management atau pengaruh yang diperlukan untuk mendapatkan sumber daya dan dukungan utama yang diperlukan untuk membangun bisnis di luar negeri.

Devising Strategy for Late Movers

Sekali perusahaan terbebas dari tarikan pasar domestiknya, tantangan besar selanjutnya adalah bagaimana memilih strategi dalam memasuki pasar global. Keuntungan menjadi late mover yaitu bisa membencmark dan menerapkan best pratice dari perusahaan yang sudah terlebih dulu sukses di pasar global dan kemudian bersaing untuk merebut pasar yang ada, atau mengambil niche market yang tidak digarap oleh perusahaan besar. Beberapa perusahaan mengambil langkah yang lebih beresiko yaitu dengan mengubah rule of game dan menantang perusahaan yang sudah ada.

Benchmark and sidestep. Perusahaan kecil yang belum pernah memasuki pasar global dan tidak mempunyai pengalaman tentang bersaing secara internasional merasa takut bahwa mereka akan merugi jika bersaing secara langsung dengan perusahaan besar yang mempunyai sumber daya yang besar dan pengalaman yang luas akan pasar global. Namun mereka bisa mempelajari bagaimana bersaing melawan pemain besar di pasar asing dengan mengadaptasi dan merespon saat perusahaan tersebut memasuki pasar dalam negeri. Hal inilah yang dilakukan oleh Jollibee, jaringan resto fast-food asal Philipine. Ketika McDonald masuk ke Manila pada tahun 1981, beberapa orang percaya bahwa jaringan Jollibee akan bisa bertahan. CEO Tony Tan Caktiong dan tim manajemennya memutuskan untuk menggunakan masuknya McDonald sebagai ajang training agar jaringan mereka yang masih baru bisa berkembang menjadi berkelas dunia. Manajemen Jollibee tidak hanya mengcopy apa yang ada di McDonald, tetapi mencari cara untuk melakukan inovasi. Kehadiran McDonald ke Philipine mengajarkan pada Jollibee bagaimana menjadi perusahaan yang bisa berkembang sampai ke luar negeri. Selanjutnya Jollibee bisa mengembangkan strategi untuk melakukan deferensiasi yang sesuai dengan negara tujuan, seperti mengembangkan niche produk nasi lemak yang di jual di Indonesia.

Confront and challenge. Kesuksesan Jollibee menjelaskan bagaimana late entrant bisa membenchmark dan mengadaptasi bisnis model kompetitornya. Strategi yang lebih radikal yaitu dengan mengenalkan model bisnis baru yang menantang rule persaingan industri yang sudah ada. Pendekatan ini bisa sangat efektive dalam industri yang sangat lekat dengan tradisi atau industri yang sudah terbagi dalam pasar oligopoli. Perusahaan yang melakukan strategi ini misalnya BRL Hardy, perusahaan pembuat anggur asal Australia. BRL Hardy menentang banyak perusahaan anggur yang telah mempunyai tradisi yang baik akan produksi anggur secara internasional, trading, dan juga distibution channel – meskipun faktanya Australi hanya memproduksi 2% dari total produksi anggur dunia. Hardy mencapai penjualan luar negeri sebesar $178 juta pada tahun 1998, dan hampir semua penjualan itu berasal dari branded product.

Learning How to Learn

Pasar global adalah pasar yang berlandaskan informasi dan knowledge. Untuk sukses di lingkungan ini, kita harus tahu how to learn, ini adalah central skill yang memperbolehkan perusahaan meningkatkan value curve-nya. Belum lagi setiap pembelajaran memerlukan biaya dan setiap perusahaan menghadapi resiko bahwa usaha untuk memperoleh capabilities mungkin menghabiskan banyak sumber daya vital dan ancaman akan bisnis domestik.

Protect the past. Aturan pertama bahwa perusahaan yang ingin belajar harus mengeksploitasi sumber daya dan kemampuannya secara menyeluruh yang bisa menghasilkan competitive advantage. Banyak perusahaan menjadi terlalu fokus melihat akan kemana mereka menuju tetapi lupa dari mana merek berasal. Seperti halnya yang di alami oleh Jollibee. Manager untuk divisi internasional masuk dalam perangkap untuk menemukan kembali bisnis perusahaan. Dengan secara terus-menerus menekankan perbedaan pasar internasional, dia sengaja mengisolasikan manager luar negerinya dari kesuksesan organisasi fast food di Philipine. Kemudian secara sistematik membedakan operating sistemnya, menu, iklan, tema, dan bahkan logo dan slogan perusahaan. Meskipun mempunyai antusianme dan energi, penjualan Jollibee internasional turun secara terus-menerus. Yang dilakukan oleh manager selanjutnya adalah menghancurkan gap antara organisasi domestik dan internasional. Kedekatan kerjasama antara parent company dan subsidiary yang ada di luar negeri merupakan pembelajaran dinamis yang harus berlansung selamanya.

Build the future. Kesuksesan memasuki pasar baru biasanya memerlukan lebih dari menjewer formula pasar domestik. Sering kali perusahaan kekurangan keahlian yang di perlukan untuk menyesuaikan produk atau strategi bagi lingkungan baru. Dan perusahaan yang berasal dari negara berkembang berusaha mencari jalan singkat dengan membuat partnership dengan perusahaan asing. Tetapi karena adanya perbedaan dan ketidakseimbangan kepentingan, perusahaan kecil yang berasal dari negara berkembang berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Situasi serupa yang dihadapi oleh VIP Industries, perusahaan penghasil tas kedua terbesar setelah Samsonite, asal India. Ketika memasuki pasar Inggris, VIP membentuk marketing partnership dengan distributor local yang berjanji memberikan akses pada retailer terbesar disana. Permasalahan bermula ketika distributornya memenangkan franchise di setiap toko Dabenham. VIP menginvestasikan banyak dananya untuk mentrainning staff yang akan ditempatkan di specialty department, dan untuk itu mereka diberi reward dengan 60% saham dari hasil penjualan tas Debenham. Dan ketika Samsonite menawarkan hal ekslusive atas model Oyster II kepada distributor VIP, agen lokal tersebut kesetiaannya berpindah. Setelah kejadian itu VIP menyadari bahwa kemampuan baru untuk bisnis internasional tidak bisa secara sederhana ditambahkan, mereka harus mengembangkan dan menginternalisasi.

Having the Right Stuff

Setiap leader dari perusahaan multinasional mempunyai keinginan yang kuat untuk meningkatkan value curve perusahaan. Leader seperti ini mempunyai dua karakteristik yaitu: pertama, mempunyai komitment yang telah mengakar bahwa mereka percaya perusahaan akan sukses di pasar internasional. Yang kedua, mempunyai keterbukaan pada ide baru, meskipun ide itu bertentangan dengan praktek yang sudah ada dan bertentangan dengan core capabilities perusahaan.

Dengan gelar PhD di bidang farmasi yang diperoleh dari University of Michigan, Parvinder Singh, pemilik Ranbaxy selalu menjadi scientist-entreprenuer. Singh memimpikan Ranbaxy menjadi perusahaan farmasi yang berskala internasional, dan menjadi perusahaan yang research-based. Dengan terus konsisten dalam mengembangkan bagian R&D, dia melidungi program yang akan mensupport pasar dan pencariannya akan obat baru atau sistem pengiriman obar dengan cara baru.

Kualitas kedua dari global leader – keterbukaan terhadap ide baru – yang secara jelas dan memaksa diterapkan oleh Dr. Peter Farrel, CEO ResMed. ResMed adalah perusahaan peralatan kesehatan yang berbasis di Australia, yang menspecialisasikan bisnisnya pada perawatan gangguan pernafasan yang dikenal dengan obstructive sleep apnea (OSA). Penerimaan Farrel terhadap ide baru menghasilkan perubahan yang dramatis di masa depan.

No comments:

paper zone © 2008 | Coded by Randomness | Illustration by Wai | Design by betterinpink!